DaerahSeni dan Budaya

Juru Kunci Gunung Merapi “Mbah Asih” Pimpin Acara Hajad Dalem Labuhan Gunung Merapi

×

Juru Kunci Gunung Merapi “Mbah Asih” Pimpin Acara Hajad Dalem Labuhan Gunung Merapi

Sebarkan artikel ini

Reporter: Arfian Adita

Gunung Merapi
Keterangan Foto : Prosesi Uborampe dan Kirab Menuju Sri Manganti Gunung Merapi.(foto)

YOGYAKARTA | TambunPos.com – Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat kembali menggelar hajad dalem Labuhan Merapi di Kalurahan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DI.Yogyakarta, pada Jumat (31/1/2025) pagi.

Tradisi rutin memperingati Tingalan Dalem Jumeneng atau bertahtanya Raja Sri Sultan Hamengku Buwono X ini mendapat antusias dari masyarakat.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Mereka rela datang sejak pagi buta, memadati seputar museum petilasan Mbah Maridjan di Kalurahan Kinahrejo, tempat dimulainya membawa Uba Rampe menuju Sri Manganti.

Iringan Abdi Dalam Kraton
Keterangan Foto : Iringan Abdi Dalem Kraton Ngayogyakarta Labuhan Gunung Merapi.(foto)

Warga Condongcatur, Ikhsan Eka Wardana, mengatakan meski dirinya tinggal di sleman namun baru pertama kali ini melihat dari dekat upacara labuhan Gunung Merapi.

Ia mengaku berangkat pagi-pagi menuju Cangkringan karena penasaran ingin tahu seputar uborampe dan bagaimana para abdi dalem Kraton membawanya ke lereng Gunung Merapi.

“Sebenarnya saya tau labuhan itu sudah lama. Namun baru pertama kali ini lihat langsung, ternyata emang sangat kental akan budaya. Saya juga penasaran dengan uborampenya, karena kan asing nama-namanya,” kata dia, di Kinahrejo, Jumat (30/1/2025) siang.

Upacara Labuhan merupakan Hajad Dalem Kraton Yogyakarta, yang digelar setiap tahun pada tanggal 30 Rejeb dalam kalender penanggalan Jawa.

Selain di Gunung Merapi, Labuhan juga diadakan di Pantai Parangkusumo serta di Gunung Lawu. Tradisi ini merupakan rangkaian peringatan Tingalan Dalem Jumeneng atau memperingati bertahtanya Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Upacara Labuhan Merapi dipimpin langsung oleh Juru Kunci Gunung Merapi, Mas Wedana Surakso Hargo Asihono (Mbah Asih).

Tujuan Upacara Labuhan yang merupakan hajad dalem Kraton Yogyakarta ini adalah memohon doa kepada Tuhan yang Maha Esa agar diberikan keselamatan dan dijauhkan dari segala malapetaka.

“Kalaupun Merapi ada sesuatu, sedikit ada erupsi, maka masyarakat di lereng Gunung Merapi semoga bisa aman, selamat dan tentram,” tegasnya, pada Jumat (31/1/2025).

Adapun terkait Uborampe yang dibawa dalam prosesi labuhan ini, di antaranya Nyamping Cangkring, Semekan Gadhung, Semekan Gadhung Mlati, Semekan Banguntulak, Kampuh Poleng Ciut, Dhestar Daramuluk hingga Paningset Udaraga.

Menurut Mbah Asih, Uborampe dari Kraton Yogyakarta tersebut sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tidak ada perbedaan.

“Adapun filosofi maknanya beragam. Banguntulak, ini maknanya untuk menolak bebaya atau malapetaka. Ubo rampe tersebut dibawa berjalan kaki dari Petilasan Rumah Mbah Maridjan menuju Sri Manganti yang berjarak lebih kurang 2,5 kilometer.” Jelas Mbah Asih.

Rangkaian upacara labuhan ini digelar selama dua hari. Prosesinya di mulai sejak Kamis (30/1/2025) yang diawali serah terima Ubo Rampe dari Kraton Yogyakarta di Kapanewon Cangkringan, dan malam harinya dilakukan kenduri, pementasan Tari Pudyastuti, dia bersama wilujengan hajad dalem dan pagelaran wayang kulit semalam suntuk.

Rangkaian acara labuhan, yang dapat diikuti oleh seluruh masyarakat umum ini didukung Dinas Kebudayaan DIY melalui Dana Keistimewaan.

Disisi lain Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi mengatakan, Hajad Dalem Labuhan Merapi Kraton Yogyakarta di dusun Kinahrejo, Kalurahan Umbulharjo, Kapanewon Cangkringan, Kabupaten Sleman bermakna bagaimana menjaga keserasian, keselarasan, serta keseimbangan alam.

Labuhan berasal dari kata (labuh) yang artinya persembahan. Upacara adat labuhan Merapi Kraton Yogyakarta ini merupakan perwujudan doa persembahan kepada Tuhan atas rahmat dan anugerah yang diberikan kepada kraton dan rakyatnya juga sebagai tanda penghormatan bagi leluhur yang menjaga Gunung Merapi.

“Semoga tradisi ini tetap dilestarikan (handarbeni) sebagai tradisi leluhur yang perlu didukung oleh seluruh elemen masyarakat agar terjaga dengan baik,” pungkasnya.

(AA | TP)