Labuhanbatu Utara | TambunPos.com, 23 April 2025 — Jika dulu Sungai Pangkalan Lunang adalah urat nadi kehidupan, hari ini ia menjelma menjadi aliran racun yang perlahan menenggelamkan masa depan masyarakat pesisir. Dan ketika air berubah warna, dan ikan-ikan mati mengambang sebelum sempat ditangkap, satu pertanyaan muncul: siapa yang harus bertanggung jawab?
Jawabannya, menurut ratusan massa yang turun ke jalan, jelas: PT. Singgie Grub.
Baca Juga: Wabup Dampingi Wagub Sumut, Gerakan Tanam Padi Bersama Dukung Ketersediaan Pangan
Perusahaan yang bergerak di bidang industri kelapa sawit dan pengolahan hasil alam ini diduga dengan entengnya menjadikan sungai sebagai pembuangan akhir limbah cair pabriknya. Dan seperti biasa, sebelum bau limbah sampai ke ruang dewan, rakyat sudah lebih dulu dicekik oleh aromanya.
Gerakan Masyarakat Pemuda dan Mahasiswa Kualuh Leidong pun tak tinggal diam. Dengan semangat yang menyala lebih panas dari matahari di atas kepala, mereka menggelar aksi protes yang bukan sekadar ajang orasi, tapi panggung pengadilan rakyat di ruang terbuka. Senin, (21/4/25)
Dari Sungai ke Suara: Aksi yang Membakar Kesadaran
Aksi dimulai dari bantaran sungai, tempat di mana air yang dulunya jernih kini lebih cocok disebut sebagai cairan eksperimen laboratorium gagal. Dengan membawa spanduk, pengeras suara, dan air sungai sebagai bukti visual, massa menyerukan satu hal: tanggung jawab.
Aktivis Lingkungan Ahammad Tuah Saragi menjadi juru bicara ketidakadilan yang sudah terlalu lama didiamkan.
“PT. Singgie Grub telah menjadikan sungai sebagai selokan limbah industri. Ini bukan sekadar pencemaran, ini perampokan masa depan dengan metode legal-formal yang diselundupkan,” serunya, disambut sorak dan tepuk tangan.
Tak cukup dengan kata-kata, massa menunjukkan aksi nyata: membawa sampel air sungai tercemar, lengkap dengan bau menyengat yang membuat wartawan pun harus menahan napas. Dan tak perlu alat laboratorium mahal untuk menyimpulkan: sungai itu sudah berubah fungsi.
CSR Murahan dan Amplop Ketulusan: Rakyat Tidak Lagi Bodoh
Dalam orasinya yang memukau, Tuah Saragi juga menolak segala bentuk “penyelesaian cepat” yang sering datang dalam bentuk amplop, paket sembako, atau program CSR dadakan.
“Kalau mereka pikir bisa beli suara rakyat dengan CSR murahan, mereka salah besar. Kami tidak sedang lapar proyek, kami hanya ingin sungai kami kembali,” tegasnya.
Nada-nada itu ditambah ketukan keras dari Pembina Ikatan Mahasiswa Kualuh Leidong (IMKL), Syahril Nasution, yang mengingatkan bahwa ini bukan ajang cari panggung atau dagang pengaruh.
“Jangan jadikan suara masyarakat sebagai komoditas lobi-lobi. Kami tidak sedang main catur, ini bukan soal strategi, ini soal hidup dan mati warga pesisir!”
Dibalik Pintu Perusahaan: Bukti Tak Pernah Hadir, Janji Selalu Diundang
Pihak perusahaan, diwakili oleh humas dari PKS SSJL — salah satu unit dalam kongsi besar PT. Singgie Grub — mencoba meredam amarah dengan pendekatan yang klasik: undang perwakilan massa ke dalam ruangan, perlihatkan beberapa kertas, dan lempar janji manis.
Namun strategi lama itu tampaknya sudah basi di telinga para aktivis. Setelah pertemuan singkat kurang dari satu jam, perwakilan aksi keluar dan menyampaikan kabar yang mengejutkan tapi tidak mengejutkan: tidak ada bukti izin pembuangan limbah yang ditunjukkan.
“Mereka hanya menunjukkan surat hasil uji sampel limbah, bukan izin resmi pembuangan ke sungai dari dinas lingkungan hidup. Maka kami nyatakan: ini belum selesai. Kami akan hadir Senin untuk mediasi, tapi kami tidak akan tunduk,” ujar salah satu juru bicara massa.
Ultimatum dari Akar Rumput: Kalau Tak Bisa Bersih, Angkat Kaki
Sorakan rakyat menguat saat Ketua PAC GRIB Jaya Kualuh Leidong, Jailani Panjaitan, naik ke atas mobil komando. Ucapannya tidak bersayap.
“Kalau suara rakyat Kualuh Leidong diabaikan, silakan perusahaan angkat kaki dari sini. Jangan pikir rakyat tak tahu. Hari ini kami tunjukkan: kami tahu, kami marah, dan kami berjuang!”
Kehidupan vs Keuntungan: Siapa yang Menang?
Aksi ini menjadi titik balik. Ia bukan sekadar protes, melainkan peringatan. Bahwa rakyat bisa marah, dan kemarahan itu bukan barang dagangan. Bahwa sungai bukan selokan, dan bahwa kehidupan tidak bisa ditukar dengan laporan audit lingkungan yang penuh angka tapi kosong makna. PT. Singgie Grub boleh memiliki pabrik, modal, dan koneksi. Tapi rakyat punya satu hal yang tak bisa dibeli: tekad.
Dan ketika air berubah warna, suara rakyat pun berubah nada. Bukan lagi bisikan keluhan, tapi teriakan perjuangan.
(RD| TP)